LO KHENG HONG BERMAIN TIMAH
Follow my IG: lukas_setiaatmaja
IG: hungrystock
Minggu lalu kita sudah belajar dari LKH bagaimana memanfaatkan kasus flu burung untuk menambah kekayaannya. Minggu ini kita akan belajar bagaimana LKH menentukan saat untuk menjual sahamnya yang sudah untung. Kita ambil contoh kasus PT. Timah, Tbk (TINS).
IG: hungrystock
Minggu lalu kita sudah belajar dari LKH bagaimana memanfaatkan kasus flu burung untuk menambah kekayaannya. Minggu ini kita akan belajar bagaimana LKH menentukan saat untuk menjual sahamnya yang sudah untung. Kita ambil contoh kasus PT. Timah, Tbk (TINS).
TINS adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang pertambangan atau eksplorasi timah. TINS adalah penghasil timah dunia terbesar pada tahun 2008. Timah digunakan untuk solder, kemasan produk, baju anti api, sampai dengan pembuatan stabiliser pvc, pestisida dan pengawet kayu.
LKH membeli saham TINS pada tahun 2002 pada harga sekitar Rp290. Ia membeli 24 juta saham TINS, dan menjadi salah satu pemegang saham TINS terbesar di luar pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas. LKH menjual saham TINS pada tahun 2004 seharga Rp2.900, meraup cuan (keuntungan) Rp63 milyar, atau cuan 900 persen dalam waktu 2 tahun.
LKH tertarik membeli saham TINS karena pada tahun 2002 nilai buku ekuitasnya Rp1,5 trilyun, sedangkan nilai pasar ekuitasnya (kapitalisasi pasar) pada harga saham Rp290 hanya Rp150 milyar. Namun laba bersihnya pada tahun 2002 hanya Rp11 milyar, turun dari Rp37 milyar pada tahun 2011. Salah satu penyebabnya adalah harga timah yang rendah. Ketika harga timah mulai membaik, kinerja keuangan dan harga saham TINS juga terkerek naik.
Sebenarnya LKH punya peluang untuk memperoleh keuntungan lebih fantastis dari TINS jika ia tidak menjual saham TINS di Rp2.900. Setelah ia jual, harga saham TINS masih naik terus seiring dengan pertumbuhan harga timah dunia yang luar biasa.
Pada grafik bisa dilihat harga saham TINS mengalami lonjakan sejak akhir 2006 hingga pertengahan 2008, dimana harga saham TINS menyentuh Rp38.000. Bisa dibayangkan, seandainya LKH melepas saham TINS nya pada harga puncak ini, ia bakal meraup keuntungan 12.000 persen dalam waktu 5,5 tahun!
Tentunya ini menjadi pelajaran bagi investor pemula, bahwa memprediksi titik puncak harga sebuah saham tidaklah mudah. Investor berpengalaman dan hebat seperti LKH saja bisa “membuat kesalahan” dengan melepaskan kesempatan emas utnuk meraup cuan gila-gilaan. Namun, saat LKH “membuat kesalahan”, ia masih untung 900 persen dalam waktu 2 tahun. Sedangkan kebanyakan investor lain jika melakukan kesalahan investasi biasanya harus melakukan cut loss alias merugi.
Kalau selama ini kita sudah tahu bagaimana konsep LKH dalam memilih/membeli saham yang salah harga, yakni menggunakan indikator Price Earnings Ratio (PER) kurang dari 5 kali, bagaimana dengan konsep menjual saham?
LKH menjelaskan ketika nilai intrinsik saham yang ia pegang sudah mendekati harga pasarnya, ia mulai mempertimbangkan untuk melepas saham tersebut. Ketika nilai saham sudah mendekati harganya, cuan di masa depan dari saham tersebut sudah tidak tinggi.
Lantas bagaimana caranya LKH menghitung nilai intrinsik sebuah saham? Secara teoritis ada beberapa metoda. Yang banyak digunakan oleh para analis saham adalah metoda discounted cash flow (DCF). Analis mencoba memprediksi arus kas yang bisa dihasilkan oleh sebuah perusahaan bagi investor di masa yang akan datang. Arus kas tersebut kemudian di-nilai sekarang-kan (present value). Nilai intrinsic saham adalah jumlah dari seluruh nilai sekarang arus kas tersebut. Metoda ini canggih namun kadang akurasinya kurang tinggi karena banyak asumsi yang harus dibuat. Misalnya, pertumbuhan penjualan dan laba bersih, struktur modal, belanja modal, suku bunga.
LKH menggunakan PER untuk memperkirakan apakah harga sebuah saham sudah mendekati nilai intrinsiknya. “Ketika PER saham yang saya pegang sudah mendekati 17 kali, saya mempertimbangkan untuk melepas saham tersebut,” kata LKH. Ia menggunakan angka 17 kali sebagai acuan karena rata-rata PER saham di Bursa Efek Indonesia yang dianggap wajar adalah 17 kali. Kadang LKH menggunakan indikator price to book value ratio (PBV atau harga saham dibagi book value ekuitas saham) sebesar 1 kali. Pendekatan lain yang LKH gunakan adalah replacement cost, dimana ia bertanya kepada direksi perusahaan, berapa nilai wajar perusahaan mereka.
Ada satu hal lagi yang bisa membuat LKH melepas sahamnya yang sudah dalam posisi untung (in the money). “Kalau ada saham perusahaan bagus jatuh harganya, dan kebetulan saya tidak punya uang tunai, saya bisa menjual saham saya utnuk membeli saham tersebut,” LKH menjelaskan. Inilah yang disebut asset allocation (alokasi aset), salah satu prinsip investasi Warren Buffett, mahaguru LKH.
Dari artikel ini, saya bacanya LKH tidak terlalu ruwet ntuk menentukan metode dalam menentukan nilai wajar ya, PER dan PBV, sesuatu yang kadang dianggap remeh sama orang-orang karena bisa rancu.
ReplyDeleteTapi saya tetap yakin si, selain PER dan semacamnya, Pak LKH ini pasti punya rumus lagi dalam memilih saham.
Salam kenal, Pak :)